Rabu, 21 April 2010

guru

Seni Mengajar

Mengapa orang ingin pergi ke sekolah? Jawaban paling populer adalah karena di sekolah orang akan memperoleh pengetahuan dan dengan itu menjadi pintar. saya pergi ke sekolah juga dengan alasan serupa, ingin memperoleh pengetahuan dan menjadi pintar. Namun, perspektif itu mulai berubah saat saya mencapai pendidikan lebih tinggi. Pengetahuan yang saya peroleh tidak lagi menjadi obyek yang bisa saya genggam untuk karier masa depan.
Pengetahuan menjadi pembentuk pribadi; pengetahuan telah menantang pikiran saya dan menjadikannya strategi untuk kehidupan dan pengambilan sikap. Pengetahuan tidak statis; pengetahuan memiliki jiwa dan kehidupan yang memberi dampak bagi kehidupan manusia.

Guru

Dalam lingkup pendidikan, guru menjadi perantara pengetahuan. Guru menerjemahkan ilmu pengetahuan menjadi sebuah paket informasi yang menyenangkan sehingga siswa mudah menyerapnya. Guru menciptakan pelajaran yang kreatif dengan pengetahuan menjadi sesuatu yang menarik.
Mengajar bukanlah sebuah kegiatan yang ada hubungan pasti antara subyek dan obyek. Mengajar adalah sebuah seni dengan guru menjadi senimannya. Melalui mengajar, ia mengekspresikan kepribadiannya. Dan para siswa adalah "hasil karya seni manusiawi" yang sifatnya tidak statis. Sama seperti kesenian, mengajar juga memberi kesempatan kepada guru untuk menjadi jujur kepada dirinya.
Ketika di depan kelas, guru menempatkan dirinya sebagai pusat perhatian sekaligus obyek penyidikan. Para murid melihat guru dari atas sampai bawah.
Karena itu, mengajar merupakan sesuatu yang pribadi, yang tidak dapat digantikan begitu saja. Mengajar itu melibatkan guru sebagai sosok yang menyeluruh, bukan hanya sebagai seseorang yang mencoba menyampaikan sepotong pengetahuan.
Mengajar merupakan sebuah seni karena untuk menjadi guru dibutuhkan keahlian khusus. Aspek paling penting dan utama menjadi guru ialah kecintaan dan semangat yang terus-menerus (passion) pada bidang pendidikan. Artinya, selalu ada keinginan untuk membuat siswa belajar dengan senang dan mencapai keberhasilan. Kecintaan pada pendidikan juga berarti tekad untuk belajar sepanjang hayat.
Mengajar itu menyita waktu. Di sini seorang guru harus mampu membuat keseimbangan antara kerja dan kehidupan keluarga. Guru juga harus meluangkan waktu untuk membuat rancangan pelajaran. Dibandingkan dengan profesi lain,jam kerja guru mulai lebih awal.
Menjadi guru juga menghabiskan energi. Setelah menangani murid yang tidak mengerjakan PR dengan baik, ia harus menemui orangtua dan kepala sekolah.
Ketika ada gagasan yang sulit dimengerti siswa, guru harus segera mencari cara paling menarik dan cocok untuk menjelaskannya. Berbagai tantangan ini tidak akan menjadi beban bila guru memiliki kecintaan dan tekad mendidik generasi muda.

Teori pendidikan

Selain syarat-syarat itu, ada banyak teori pendidikan yang harus dikuasai para guru agar dapat mengimbangi tuntutan global. Teori-teori itu selalu berkembang dan perlu pelatihan praktis agar dapat diterapkan secara benar.
Ribuan kali berdiri di depan murid merupakan kesempatan bagi guru untuk menemukan kekuatan ataupun kelemahan. Bila ini disadari, ia akan dapat menemukan cara mengajar yang paling efektif. Pribadi yang baik dibangun melalui keberanian untuk melihat apa yang ada di dalam dirinya. Hal ini juga berlaku untuk seorang guru yang baik.
Dalam pendidikan, seluruh pribadi dibentuk. Melalui interaksi dengan rekan sejawat, keterampilan guru di bidang hubungan antarpribadi dipoles.
Pekerjaan sekolah yang membutuhkan manajemen diri dan tenggat biasanya membentuk pribadi menjadi pekerja keras dan gigih.
Tujuan mata pelajaran sekolah adalah untuk membimbing dan mengilhami siswa guna menekuni bidang yang akan dipelajari kelak. Tujuan pendidikan adalah membangun generasi warga negara yang mampu memberi sumbangan bagi perkembangan bangsanya. Generasi muda inilah yang bakal memberi dampak pada lingkaran sosialnya. Mungkin mereka akan mengilhami orang lain. Mungkin pula—ini harapannya—suatu saat mereka akan menjadi guru dan perantara ilmu pengetahuan. Melalui pengajaran dan pembelajaran, siswa disiapkan menjadi pribadi yang kritis.
Pada dasarnya, pendidikan dirancang untuk menghasilkan manusia komprehensif, yang memiliki watak baik, pengetahuan yang cukup, dan keterampilan yang memadai guna menghadapi kehidupan dunia.
Pendidikan guru
Mengajar itu seni. Ia membutuhkan beberapa keterampilan dan persiapan dalam bentuk pendidikan bermutu. Dalam pendidikan, para guru dilatih agar dapat menyesuaikan diri dengan berbagai macam lingkungan sekolah dan siswa.
Pendidikan bagi guru dirancang untuk memenuhi harapan tertinggi profesinya. Guru harus menguasai ilmu pengetahuan di mana mereka akan menjadi perantaranya sehingga siswa tidak hanya mempelajari pengetahuan mentah, tetapi juga belajar bagaimana menerapkan dan menghubungkan pengetahuan itu dalam kehidupannya. Yang terpenting—mungkin sering dilupakan—ialah seorang guru juga harus akrab dengan berbagai falsafah mengenai pendidikan. Socrates, John Dewey, dan Howard Gardner memberi teori dan falsafah yang dapat dipelajari dan digunakan untuk membangun falsafah pendidikan.
Penghargaan
Dengan pengabdiannya yang all-out, dengan jumlah pekerjaan dan sumbangan abadi mereka untuk masyarakat, para guru juga membutuhkan penghargaan.
Guru membutuhkan lebih dari sekadar Himne Guru atau tepuk tangan pada Hari Guru. Mereka membutuhkan imbalan nyata yang berguna untuk kemajuan sebagai pendidik ataupun untuk kehidupan sehari-hari.
Guru membutuhkan fasilitas. Keamanan finansial merupakan salah satu yang mutlak diharapkan guru. Keamanan politis juga penting. Demikian pula, guru memerlukan akses informasi dalam kancah global agar ia dapat memoles keterampilan mengajarnya. Akses global menghubungkan para guru lokal dengan para pendidik dari berbagai budaya dan pengalaman yang berbeda.
Kepuasan
Akhirnya, apa sebenarnya kepuasan yang paling berharga bagi guru? Kemajuan para murid! Saya baru tiga tahun berada dalam dunia pendidikan. Pengalaman saya mungkin belum luas. Namun, saya merasa puas saat murid-murid saya bertanya saat pelajaran, atau saat mereka mengungkap keraguannya mengenai mata pelajaran yang sedang dibahas. Saya senang melihat mereka menerapkan apa yang saya ajarkan menjadi sebuah masalah dalam buku ajar. Di sini saya melihat gambaran guru pada murid-murid, sama seperti bagaimana kepribadian seorang seniman muncul dan tampak dalam karya seninya. Siswa meniru keutamaan guru dan bermimpi untuk menjadi seperti gurunya. Siswa menjadi pribadi yang makin baik dan makin dewasa karena gurunya. Bagi seorang guru, ini sudah cukup menjadi kehormatannya.
Guru memang "pahlawan tanpa tanda jasa". Mereka tidak membutuhkan pengakuan. Kemajuan individu, yang mendorong kemajuan masyarakat secara menyeluruh, telah membuktikan nilai sumbangan para guru bagi bangsa.

Rabu, 14 April 2010

salah

Mbok Inah masih celingukan memeriksa ruangan rumah majikan barunya. Begitu besar dan mewah. Begitu rapi dan bersih. Setidaknya untuk ukuran pembantu yang masih awam dengan gaya hidup di kota besar seperti Jakarta.
Satu hal yang menarik perhatian Mbok Inah. Di tiap ruangan, selalu ia jumpai tanaman bunga yang berdiri di atas pot. Ada pohon melati, mawar, ros, dan sri rejeki. Sebuah tanaman yang ‘menjual’ keindahan dedaunan.Tiap kali mendapati tanaman-tanaman itu, Mbok Inah secara reflek menyiapkan kemampuan penciumannya. Duh, betapa harumnya bunga-bunga itu.
Tapi, ia menemukan sebuah keanehan. Pasalnya, tak secuil pun aroma harum menyeruak dari bunga-bunga itu. “Aneh! Kok, ndak wangi?” batin Mbok Inah seperti memeriksa. Ketika Mbok Inah mendekati tanaman melati, hal yang sama terjadi. Padahal, aroma melati begitu tajam. Aneh!
“Ada yang mau Mbok tanyakan?” tanya ibu majikan ketika menangkap kebingungan Mbok Inah.
“Anu, Nya. Hmm, gimana saya bisa nyiram pot-pot bunga ini? Kalau disiram di sini, sayang sama lantainya yang bagus. Kalau dibawa keluar, saya ndak kuat. Pohonnya lumayan besar!” ungkap Mbok Inah menutupi kebingungannya.
“Mbok keliru!” ucap ibu majikan sambil senyum. “Keliru?” balas Mbok Inah spontan. “Iya. Pohon-pohon ini tidak asli. Ini dari plastik. Mbok Inah tak perlu menyiraminya,” jelas ibu majikan sambil mengajak pembantu barunya itu menyentuh salah satu tanaman bunga.
“Oalah! Pantas tidak wangi!” ucap Mbok Inah sambil tetap terkesima dengan keindahan dan kemiripan tanaman bunga-bunga itu.
**
Orang banyak bisa saja terpikat. Mereka begitu takjub dengan keindahan luar yang mempesona: penampilan, retorika, dan slogan. Tapi, tetap saja kalau kesegaran dan keharuman jiwa cuma bisa diraih dari sesuatu yang hidup.
Pegiat dakwah persis seperti tanaman bunga yang tidak hanya hadir memberikan keindahan dan ketentraman orang sekitar melalui pesona luarnya. Lebih dari itu, ia mestinya hadir memberikan kesegaran ruhani melalui sentuhan hidup hatinya. Dan, ruhani hanya akan bisa tersegarkan dengan kucuran air kehidupan: jernih, terus mengalir, dan tidak tebang pilih.
Hanya yang segar yang bisa memberikan kesegaran. Dan hanya yang hidup yang bisa memberikan kehidupan. Kesegaran ruhani, dan kehidupan hati.

Selasa, 13 April 2010

Konsep Pendidikan dalam Al-qur’an

Istilah pendidikan bisa ditemukan dalam al-Qur'an dengan istilah ‘at-Tarbiyah’, ‘at-Ta’lim’, dan ‘at-Tadhib’, tetapi lebih banyak kita temukan dengan ungkapan kata ‘rabba’ , kata at-Tarbiyah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi rabba , yang mempunyai pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama Allah. Dalam al-Qur'an tidak ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’, tetapi ada istilah yang senada dengan itu yaitu; ar-rabb, rabbayani, murabbi, rabbiyun, rabbani. Sebaiknya dalam hadis digunakan istilah rabbani. Semua fonem tersebut mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda.

Beberapa ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan kat-kata diatas. Sebagaimana dikutip dari Ahmad Tafsir bahwa pendidikan merupakan arti dari kata ‘Tarbiyah’ kata tersebut berasal dari tiga kata yaitu; rabba-yarbu yang bertambah, tumbuh, dan ‘rabbiya- yarbaa’ berarti menjadi besar, serta ‘rabba-yarubbu’ yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara.
Konferensi pendidikan Islam yang pertama tahun 1977 ternyata tidak berhasil menyusun definisi pendidikan yang dapat disepakati, hal ini dikarenakan; 1) banyaknya jenis kegiatan yang dapat disebut sebagai kegiatan pendidikan, 2) luasnya aspek yang dikaji oleh pendidikan.
Para ahli memberikan definisi at-Tarbiyah, bila diidentikan dengan ‘arrab’ sebagai berikut;
Menurut al-Qurtubi, bahwa; arti ‘ar-rabb adalah pemilik, tua, Maha memperbaiki, Yang Maha pengatur, Yang Maha mengubah, dan Yang Maha menunaikan
Menurut louis al-Ma’luf, ar-rabb berarti tuan, pemilik, memperbaiki, perawatan, tambah dan mengumpulkan.
Menurut Fahrur Razi, ar-rabb merupakan fonem yang seakar dengan al-Tarbiyah, yang mempunyai arti at-Tanwiyah (pertumbuhan dan perkembangan).
Al-Jauhari memberi arti at-Tarbiyah, rabban dan rabba dengan memberi makan, memelihara dan mengasuh.
Kata dasar ar-rabb , yang mempunyai arti yang luas antara lain; memilki, menguasai, mengatur, memelihara, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan dan berarti pula mendidik.

Apabila pendidikan Islam di identikan dengan at-ta’lim, para ahli memberikan pengertian sebagai berikut;
Abdul Fattah Jalal, mendefinisikan at-ta’lim sebagai proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga penyucian atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya. At-ata’lim menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidup serta pedoman prilaku yang baik. At-ta’lim merupakan proses yang terus menerus diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai potensi yang mempersiapkannya untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta memanfaatkanya dalam kehidupan.
Munurut Rasyid Ridho, at-ta’lim adalah proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Definisi ini berpijak pada firman Allah al-Baqoroh ayat 31 tentang allama Allah kepada Nabi Adam as, sedangkan proses tranmisi dilakukan secara bertahap sebagaimana Adam menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya. Dari penjelasan ini disimpulkan bahwa pengertian at-ta’lim lebih luas/lebih umum sifatnya daripada istilah at-tarbiyah yang khusus berlaku pada anak-anak. Hal ini karena at-ta’lim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, dan orang dewasa, sedangkan at-tarbiyah, khusus pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak.
Sayed Muhammad an Naquid al-Atas, mengartikan at-ta’lim disinonimkan dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar, namun bila at-ta’lim disinonimkan dengan at-tarbiyah, at-ta’lim mempunyai arti pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah system.
Menurutnya ada hal yang membedakan antara at-tarbiyah dengan at-ta’lim, yaitu raung lingkup at-ta’lim lebih umum daripada at-tarbiyah, karena at-tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial dan juga at-tarbiyah merupakan terjemahan dari bahasa latin education, yang keduanya mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik-mental, tetapi sumbernya bukan dari wahyu.
Pengunaan at-ta’dib, menurut Naquib al-Attas lebih cocok untuk digunakan dalam pendidikan Islam, konsep inilah yang diajarkan oleh Rasul. At-ta’dib berarti pengenalan, pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedimikian rupa, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud dan keberadaanya.
Kata ‘addaba’ yang juga berarti mendidik dan kata ‘ta’dib’ yang berarti pendidikan adalah diambil dari hadits Nabi “Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik”.

Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy, pengertian at-ta’lim berbeda dengan pendapat diatas, beliau mengatakan bahwa; at-ta’lim lebih khusus dibandingkan dengan at-tarbiyah, karena at-ta’lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan at-tarbiyah mencakuip keseluruhan aspek-aspek pendidikan.

Masih lagi pengertian pendidikan Islam dari berbagai tokoh pemikir Islam, tetapi cukuplah pendapat diatas untuk mewakili pemahaman kita tentang konsep pendidikan Islam (al-Qur'an ). Konsep filosofis pendidikan Islam adalah bersumber dari hablum min Allah (hubungan dengan Allah) dan hablum min al-nas (hubungan dengan sesama manusia) dan hablum min al-alam (hubungan dengan manusia dengan alam sekitas) yang selanjutnya berkembang ke berbagai teori yang ada seperti sekarang ini. Inprirasi dasar yaitu berasal dari al-Qur'an.

Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah suatu yang diharapakan tercapai setelah sesuatu kegiatan selesai atau tujuan adalah cita, yakni suasana ideal itu nampak yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan, suasana ideal itu tampak pada tujuan akhir (ultimate aims of education)
Adapun tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalamai proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu hidup, selain sebagai arah atau petunjuk dalam pelaksanaan pendidikan, juga berfungsi sebagai pengontrol maupun mengevaluasi keberhasilan proses pendidikan.
Sebagai pendidikan yang nota benenya Islam, maka tentunya dalam merumuskan tujuan harus selaras dengan syari’at Islam. Adapun rumusan tujuan pendidikan Islam yang disampaikan beberapa tokoh adalah;
Ahmad D Marimba; tujuan pendidikan Islam adalah; identiuk dengan tujuan hidup orang muslim. Tujuan hidup manusia munurut Islam adalah untuk menjadi hamba allah. Hal ini mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya.
Dr. Ali Ashraf; ‘tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang menyerahkan diri secara mutlak kepada Allah pada tingkat individu, masyarakat dan kemanusiaan pada umunya”.
Muhammad Athiyah al-Abrasy. “the fist and highest goal of Islamic is moral refinment and spiritual, training” (tujuan pertama dan tertinggi dari pendidikan Islam adalah kehalusan budi pekerti dan pendidikan jiwa)”
Syahminan Zaini; “Tujuan Pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang berjasmani kuat dan sehat dan trampil, berotak cerdas dan berilmua banyak, berhati tunduk kepada Allah serta mempunyai semangat kerja yang hebat, disiplin yang tinggi dan berpendirian teguh”.
Dari berbagai pendapat tentang tujuan pendidikan Islam diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat.

Hakekat Pendidikan dalam al-Qur'an
Hakekat/nilai merupakan esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Nilai bersifat praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara objektif didalam masyrakat. Nilai ini merupakan suatu realita yang sah sebagai suatu cita-cita yang benar dan berlawanan dengan cita-cita palsu yang bersifat khayal.
Dari beberapa pengertian diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa pengertian pendidikan Islam adalah; proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam pada peserta didik melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya untuk mencapai keseimbangan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya. Sehingga dapat dijabarkan pada enam pokok pikiran hakekat pendidikan Islam yaitu;
Proses tranformasi dan internalisasi, yaitu upaya pendidikan Isla harus dilakukan secara berangsur-angsur, berjenjang dan Istiqomah, penanaman nilai/ilmu, pengarahan, pengajaran dan pembimbingan kepada anak didik dilakukan secara terencana, sistematis dan terstuktur dengan menggunakan pola, pendekatan dan metode/sistem tertentu.
Kecintaan kepada Ilmu pengetahuan, yaitu upaya yang diarahkan pada pemberian dan pengahayatan, pengamalan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang bercirikhas Islam, dengan disandarkan kepada peran dia sebagai khalifah fil ardhi dengan pola hubungan dengan Allah (hablum min Allah), sesama manusia (hablum minannas) dan hubungan dengan alam sekitas (hablum min al-alam).
Nilai-nilai Islam, maksudnya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam praktek pendidikan harus mengandung nilai Insaniah dan Ilahiyah. Yaitu: a) nilai yang bersumber dari sifat-sifat Allah sebanyak 99 yang tertuang dalam “al Asmaul Husna” yakni nama-nama yang indah yang sebenarnya karakter idealitas manusia yang selanjutnya disebut fitrah, inilah yang harus dikembangkan. b) Nilai yang bersumber dari hukum-hukum Allah, yang selanjutnya di dialogkan pada nilai insaniah. Nilai ini merupakan nilai yang terpancar dari daya cipta, rasa dan karsa manusia yang tumbuh sesuai dengan kebutuhan manusia.
Pada diri peserta didik, maksudnya pendidikan ini diberikian kepada peserta didik yang mempunyai potensi-potensi rohani. Potensi ini memmungkinkan manusia untuk dididik dan selanjutnya juga bisa mendidik.
Melalui pertumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya, tugas pokok pendidikan Islam adalah menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, dan menjaga potensi manusia, sehingga tercipta dan terbentuklah kualitas generasi Islam yang cerdas, kreatif dan produktif.
Menciptakan keseimbangan dan kesempurnaan hidup, dengan kata lain ‘insan kamil’ yaitu manusia yang mampu mengoptimalkan potensinya dan mampu menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani, dunia dan akherat. Proses pendidikan yang telah dijalani menjadikan peserta didik bahagia dan sejahtera, berpredikat khalifah fil ardhi.

Prinsip diatas adalah pikiran idealitas pendidikan Islam terutama di Indonesia, tetapi dalam mewujudkan cita-cita tersebut banyak sekali permasalah yang telah menghambat pencapaian cita-cita tersebut malah terkadang membelokkan tujuan utama dari pendidikan Islam. Problem pendidikan Islam harus menjadi tanggung jawab bersama baik dari pendidik, pemerintah, orang tua didik dan anak didik itu sendiri, jadi kesadaran dari semua pihak sangatlah diharapkan.

Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam
Kata ‘prinsip’ adalah akar kata dari principia yang diartikan sebagai permualaan, yang dengan suatu cara tertentu melahirkan hal-hal lain, yang keberadaannya tergantung dari pemula itu’ . jadi kalau berbicara mengenai prinsip pendidikan Islam, maka pelaksanaan pendidikan ini telah digariskan oleh prinsip atau konsep dalam ajaran Islam. Prinsip-prinsip tersebut adalah;
Pendidikan Islam sebagai suatu proses pengembangan diri; Manusia adalah makhluk paedagogik, yaitu makhluk Allah yang dapat dididik dan dapat mendidik. Potensi itu ada dengan adanya pemberian Allah berupa akal-pikiran, perasaan, nurani, yang akan dijalani manusia baik sebgai makhluk individu maupun sebagai makhluk yang bermasarakat. Potensi yang besar tidak akan bisa kita manfaatkan jika kita tidak berusaha untuk mengaktifkan, mengembangkan dan melatihnya. Hal itu membutuhkan sebuah proses yang akan memakan waktu, tenaga bahkan biaya, tetapi mengingat potensi yang luar biasa yang kita akan raih hal itu tidak ada artinya apa-apa. Jadi pendidikan adalah proses untuk mengembangakan potensi diri.
Pendidikan Islam; pendidikan yang bebas; Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan berkehendak dan berbuat yang diberikan Allah kepada manusia, kebebasan ini tentunya terikat dengan hukum syara’. Kebebasan disini berarti manusia bebas memilih prosesnya masing-masing dari prinsip ini seorang pendidik tidak bisa memaksa anak didik untuk menentukan pilihan yang harus dijalani anak didik. Pendidik hanya mengarahkan kemana potensi yang dominan yang bisa dikembangkan oleh peserta didik tersebut.
Pendidikan Islam penuh dengan nilai insaniah dan ilahiyah; Agama Islam adalah sumber akhlak, kedudukan akhlak sangatlah penting sebagai pelengkap dalam menjalankan fungsi kemanusiaan di bumi. Pendidikan merupakan proses pembinaan akhlak pada jiwa. Meletakkan nilai-nilai moral pada anak didik harus diutamakan. Nilai-nilai ketuhanan harus dikedepankan, pendidikan Islam haruslah memperhatikan pendidikan akhlak atau nilai dalam setiap pelajaran dari tingkat dasar sampai tingkat tertinggi dan mengutamakan fadhilah dan sendi moral yang sempurna.
Prinsip Keseimbangan hidup; Dalam pendidikan Islam prinsip keseimbangan meliputi;
Keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat
Keseimbangan antara kebutuhan jasmanai dan rohani
Keseimbangan antara kepentingan individu dan sosial
Keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan amal
Prinsip ini telah ditegaskan dalam al-Qur'an (Al-Qashas;77); ‘ dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan kepadamau (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jaganlah kamu melupakan kebahagiaan dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…’
Prinsip persamaan; Kesempatan belajar dalam Islam sama antara laki-laki dan perempuan, oleh karena itu kewajiban untuk menuntut ilmu juga sama. Sistem pendidikan tidak mengenal perbedaan dan tidak membeda-bedakan latar belakang orang itu jika dia mau menuntut ilmu. Semua punya potensi yang sama untuk di didik dan punya kesempatan yang sama untuk memproses diri dalam pendidikan.
Prinsip seumur hidup, sepanjang masa; Pendidikan yang dianjurkan tidak mengenal batas waktu, tidak mengenal umur. Seumur hidup manusia harunya terdidik, mulai dari lahir sampai ke liang lahat. Seluruh kehidupan kita digunakan sebagai proses pendidikan, sebagai proses untuk menjadi hamba yang baik, menjadi insan kamil.
Prinsip diri; Orang telah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Sebenarnya sudah mati sebeluhm mereka hidup, sebab tidak bisa melihat dunia dengan potensi panca indranya sendiri. Manusia adalah makhluk yang sempurna dengan berbekal akal, perasaan yang bisa dikembangkan. dengan inilah harkat manusia lebih tinggi di banding makhluk lainya. Atau bahkan karena akalnyapun manusia bisa unggul dari manusia satu dengan manusia lainya.

Hal diatas merupakan konsep pendidikan Islam yang ideal, tetapi bagaimana realitas pendidikan Islam sekarang? Problem pendidikan Nasional kita tidak bisa di anggap pemasalahan yang ringan, prestasi pendidikan kita jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Ketertinggalan pembanganan pendidikan Indonesia tercermin dalam Human Development index Report (1999), yang menempatkan Indonesia pada urutan ke-105 se-Asia Tenggara, sungguh prestasi yang tidak membanggakan. Problem pendidikan kita adalah problem sistemik pendidikan artinya; permasalahan menyangkut keseluruhan komponen pendidikan, mulai dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan sistem pendidikan nasional, manajerial pemerintah, kompetensi guru/dosen, sarana-prasarana, kurikulum, dukungan masyarat dan lain sebagainya. Oleh karena itu penangannya juga harus melibatkan berbagai pihak, dan sudah seharusnya permasahan ini merupakan tanggung jawab kita bersama.

Rabu, 07 April 2010

Jabatan!!

Dalam tatanan politik yang dianut Indonesia seorang presiden SBY mempunyai hak prerogratif untuk menentukan siapa yang akan menjadi pembantunya dalam menjalankan roda pemerintahan kabinet Indonesia bersatu jilid dua.
Jika kita amati para tokoh partai “Islam” yang namanya disodorkan dan “permintannya” untuk menjadi pembantu dikabulkan, ekpresi yang muncul berbeda-beda, ada yang sujud sukur, ada yang pesta dan segudang ritual lainnya, dalam rangka mensyukuri “nikmat” jabatan yang didapat.
Memang jabatan adalah sesuatu yang sangat menggiurkan setiap manusia. Karena disitulah terdapat kamasyhuran, ketenaran, kehormatan dan kemapanan sosial ekonomi. Karena itu wajarlah ketika Rasulullah saw menyebutkan bahwa tidaklah dua ekor srigala lapar yang dilepas kepada kerumunan kambing lebih merusak agama daripada ambisi seseorang terhadap harta dan jabatan.” (HR. Tirmidzi)
Dan tidak jarang ambisi seseorang terhadap jabatan menutupi akal sehatnya bahkan meredupkan keimanannya kepada Allah swt. Banyak mengejar jabatan dengan cara-cara yang diharamkan agama, seperti suap, menzhalimi kompetitornya, membohongi rakyatnya atau yang lainnya. Sangat mungkin mereka yang melakukannya mengetahui betul bahwa itu semua diharamkan dan dilarang oleh agama. Lalu mengapa mereka tetap melakukannya? Apakah mereka tidak mengetahui bahwa Allah Maha Melihat? Apakah mereka tidak meyakini bahwa kelak mereka akan ditanya oleh Allah azza wa jalla?
Jabatan adalah amanah yang kebanyakan orang tidak mampu menunaikannya dengan baik kecuali orang-orang dirahmati dan dibantu oleh Allah swt. Karena itu islam mengharuskan mereka yang menduduki jabatan (kekuasaan) adalah orang-orang yang mampu dan kuat terhadap berbagai bujuk rayu setan yang mengajaknya menyalahi janji jabatannya dan menyimpang darinya.
Rasulullah saw tidaklah memberikan jabatan kepada orang-orang yang memintanya karena itu adalah tanda ambisiusnya, yang kebanyakan nafsunya melebihi kemampuannya sebagaimana yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin samurah bahwa Nabi saw bersabda,”Wahai Abdurrahman janganlah kamu meminta imaroh (jabatan, kepemimpinan). Sesungguhnya jika engkau diberikannya karena memintanya maka engkau tidak akan dibantu.” (HR. Bukhori)
Sesungguhnya jabatan itu adalah beban berat yang setiap orang lari darinya dikarenakan hal itu telah dipikul oleh para pemimpin mereka sebelumnya sementara kelaparan bisa menjadikannya kafir. Sungguh masyarakat yang lapar telah tercabik-cabik jasadnya didalam berbagai pemandangan kekufuran dan kehilangan akal.
Dengan demikian meminta agar dijadikan pemimpin, pejabat negara, menteri, hakim, atau segala bentuk kepemimpinan yang bertanggung jawab terhadap urusan-urusan manusia baik didalam lingkup publik maupun khusus (terbatas) termasuk didalamnya untuk menjadi pejabat di sebuah instansi sementara keadaan tidaklah mengharuskan dirinya untuk memintanya dikarenakan masih banyaknya orang-orang yang lebih memiliki kemampuan dan kapasitas untuk tugas itu maka hal itu adalah bukti ambisi dan syahwatnya sehingga tidak diperbolehkan.
Kita berharap kepada para pejabat “termasuk menteri” yang baru dilantik presiden, tidak lupa pada sumpah jabatannya karena dibawah al-qur’an yang mulia, sehingga mereka tidak dilupakan oleh Allah swt. Wallauhu ‘alam. Zain elbanyumasi

Sabtu, 03 April 2010

Menuju jiwa mutmainah bersama Ramadhan

Ramadhan kembali menyapa kita, di tengah keriuhan umat ini dalam gelimang dan buaian gaya hidup jahiliyah. Ada misi luhur yang ingin dikabarkan; bahwa kehidupan lain yang lebih baik dan kekal dibanding hari ini, esok dan yang akan datang telah hadir dihadapan kita.
Jika kita layangkan pandangan ke seluruh penjuru, yang nampak adalah budaya dan symbol jahiliyah yang tengah merebak dengan sombongnya. Tak jarang budaya itu bahkan dibungkus oleh kertas kusam bertulisankan Islam. Film-film porno murahan dan film “cabul” lainnya terus ditayangkan dan dibeli sebagai konsumsi pemuas nafsu sebagian besar umat. Padahal ia virus-virus berbahaya dan lebih berbahaya dari virus flu babi yang bakal merusak dan menghancurkan potensi fitrah manusia yang merupakan modal dasar untuk mengabdi kepada Robbnya.
Tidak ada beda antara TV/VCD dan bioskop, gema serta gaung seronok music dan suara setan selalu merebak dari rumah-rumah mewah dan desa-desa bahkan dari gubuk-gubuk. Di sisi lain susul-menyusul tegak berdiri gedung dan bangunan penjaja langit dan gaya hidup konsumerisme dan materialisme. Kesemuanya melenakan,menyibukan dan menenggelamkan umat dalam dzikir panjang akan kesenangan dunia.
Belakangan ini kita juga dikepung oleh informasi politik (pileg dan pilpres), ekonomi, social dan budaya yang menggambarkan tingkah dan pola manusia-manusia hamba dunia. Kita sering disibukkan oleh berita dan kabar tentang lagak dan lagu manusia yang lalai akan tugasnya mengemban amanah besar menjadi khalifatullah.
Di tengah itu semua ramadhan kembali hadir dengan segala rahmatnya, dengan segala berkahnya dan maghfirahnya. Akankah kita menyia-nyiakan kesempatan ini?
Upaya manusia untuk meniti jalan yang haq akan selalu mendapat tantangan dan hambatan dari dua hal: nafsu amaratu bisuu (nafsu yang mendorong manusia untuk berbuat kejahatan) dan ziinatud dunya (perhiasan dunia). Dua sifat ini selalu hadir pada seluruh tingkatan manusia.
Nafsu berasal dari dalam diri manusia, senantiasa membisikan manusia untuk berbuat hal-hal yang melanggar perintah Allah SWT. Potensi nafsu, selalu mengajak manusia untuk memenuhi tuntutan syahwatnya. Dalam hubungan ini tidak dapat dilepaskan kaitan antara keinginan untuk mereguk seluruh perhiasan dunia dan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencapainya, artinya, nafsu amaratu bissu selalu berjalan seiring dengan keinginan untuk mendapatkan ziinatud dunya.
“Dijadikan indah dalam pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan disisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga) (QS. 3:14)
Ramadhan dengan segala ibadahnya yang terdapat di dalamnya merupakan sarana terbaik menempa diri dan kualitas orang mukmin. Ia akan membentuk sikap hidup yang penuh pengabdian, sabar, tawakal, penyantun, ihsan dan takwa. Ibadah shaum merupakan symbol pengendalian nafsu, yang merupakan salah satu jalan menuju hakikat takwa.
Dengan shaum seseorang wajib menahan diri dari segala yang membatalkan shaum dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Hal-hal yang membatalkan shaum adalah sesuatu yang masuk ke perut dan bercampur suami-istri. Manusia akan mudah menjaga nafsu-nafsunya bila ia dapat menjaga dirinya. Tidak ada sesuatu yang dapat mengendalikan lisan seperti shaum. Orang yang selalu kenyang akan mengakibatkan seluruh organnya dalam kondisi sarat potensi nafsu.
“Apabila seorang diantara kamu bershaum maka janganlah berkata kotor dan jangan pula berkata kasar, jika seseorang mencacinya atau menyerangnya, maka hendaklah ia mengatakan “Aku sedang shaum” (HR. Bukhori dan Muslim)
Begitu juga dengan nafsu lisan dan anggota badan Nabi bersabda: “barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan amat jahat, maka Allah tidak butuh kepadanya ia meninggalkan makan minum (HR. Bukhori)
Jadi, hakekat ditegakkannya ibadah shaum adalah bagian integral dari ajaran Islam untuk membersihkan, mensucikan dan menjual jiwa seorang mukmin kepada Allah SWT, setiap amalan di bulan ini mempunyai keistimewaan tersendiri terutama ibadah shaum.
Kondisi ruh seseorang ditentukan sejauh mana kedisiplinannya untuk selalu mensucikan diri. Dengan bekal kesucian inilah ia akan mendapatkan kemudahan untuk melaksanakan perintah Allah dan mudah pula meninggalkan laranganNya. Jika kondisi ini telah tercapai, maka upaya merealisasikan ketakwaan ruhiyah insya Allah akan tercapai.
Dalam kesehariannya manusia selalu bersentuhan aktif dengan sandang, pangan, papan dan wanita, dan untuk kondisi ini dosa-dosa kecil akibat merebaknya kejahiliyahan (wanita yang selalu berlalu lalang dengan segala atribut kejahiliyahannya, budaya dan sikap hidup materialime dan lain sebagainya). Dirasakan atau tidak, pengaruh interaksi ini memiliki potensi untuk melenakan seorang muslim dari ibadahnya kepada Allah sepanjang waktu. Dengan shaum, yang memiliki perangkap efektif untuk menjaga manusia; seperti hal-hal yang membatakan shaum dan yang menggugurkan pahala shaum, jarak dengan berbagai hal di atas kembali didudukkan pada posisinya semula, sebagai wasilah untuk beribadah kepada Allah.
Dengan ramadhan, satu bulan program peningkatan iman, ilmu dan amal serta latihan jasad untuk selalu siap menghadapi kondisi apapun merupakan bekal berharga bagi setiap muslim dalam menghadapi gempuran jahiliyah dan dorongan nafsu jiwanya menuju jiwa yang mutmainah. Wallahu ‘alam. Zain elBanyumasi.

Jumat, 02 April 2010

STUDI ANALISIS PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK

Tahun 1997 bangsa Indonesia mengalami kejadian yang dahsyat sepanjang pemerintahan orde baru, jatuhya rejim penguasa orba ternyata banyak sekali memakan korban bangsa ini, hal itu sangat naif jika di tinjau dari sudut pandang pendidikan. Berdasar pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah: Bagaimana pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan akhlak?. Dalam penelitan ini tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui bagaimana konsep Pendidikan Akhlak Menurut Imam al-Ghazali.

Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan metode deskriptif analitik. Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa Akhlak menurut Al-Ghazali adalah sesuatu yang menetap dalam jiwa dan muncul dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Akhlak bukanlah perbuatan, kekuatan, dan ma'rifah. Akhlak adalah "haal" atau kondisi jiwa dan bentuknya bathiniah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan berlalunya masa kenabian, syariat Islam semakin tenggelam, dan manusia disibukkan dengan kesibukan dunia. Akibatnya lenyaplah peranan akhlak yang telah membentuk generasi pertama yang mulia dari umat ini.

Para Shalaf al-Shalih memotivasi manusia untuk berpegang teguh kepada al-Kitab dan al-Sunnah serta menjauhi bid'ah. Bahkan mereka mengkhawatirkan apa yang diperolehnya, baik itu berupa pakaian, kendaraan, pernikahan bahkan jabatannya. Mereka takut bila kenikmatan dunia termasuk kenikmatan akhirat yang dipercepat hanya dirasakan di dunia saja. Sebagaimana shahabat Umar bin Al-khatab ra berkata:

"Kalaulah aku tidak takut kebaikanku berkurang, aku akan mengikuti pola kehidupan kalian yang enak, namun aku telah mendengar Allah SWT menjelaskan tentang suatu kaum:

'kamu telah menghabiskan rizkimu yang baik dalam kehidupan duniamu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengan nya' (QS. Al-Ahqaf:20)

Yang membedakan Ahli Allah dengan selainnya adalah mereka selalu mengharapkan akhirat dan mempersiapkan diri atas segala peristiwa yang terjadi disana" (Farid,2003:43). [1]

Begitulah kehidupan dan akhlak mereka para salafu ashalih, lain dengan kehidupan kita sekarang ini, apalagi dalam konteks yang lebih makro. Beberapa tahun yang lalu tepatnya tanggal 12-15 Met 1997 kita mengalami kejadian yang dahsyat sepanjang pemerintahan orde baru, jatuhya rejim penguasa orba ternyata banyak sekali memakan korban bangsa ini, hal itu sangat naif jika di tinjau dari sudut pandang pendidikan, dalam demontrasi-demontrasi itu segalanya ternyata terjadi; pemerkosaan, penjarahan, perusakan fasilitas umum bahkan pembunuhan, itu yang kelihatan jelas, (terlepas dari apakah mereka yang melakukan itu kaum terpelajar atau tidak, yang jelas demontrasi itu atas nama kaum terpelajar) bukan lagi masalah yang memang telah mewabah dari dulu yaitu kegiatan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di mana-mana hampir di semua instansi baik pemerintah maupun sipil. Kalau tidak KKN itu dikatakan kuno, ketinggalan, "orang jujur akan hancur".

Jika dilihat dari kaca mata pendidikan, hal yang demikian itu mungkin terjadi, karena memang selama ini pendidikan kita lebih berkonsentrasi kepada pembangunan ekonomi pragmatis dengan orientasi keuntungan jangka pendek yang lebih kasat mata, imbasnya pada pendidikan ialah terbengkalainya pendidikan nasional kita, pantaslah apa yang dikatakan Ahmad Tafsir bahwa "pendidikan kita dianggap gagal karena tidak mampu menghasilkan manusia berkualitas, beriman, dan berakhlak tinggi yang benar dari sifat kesewenang-wenangan yang muncul dalam prilaku KKN " . [2]

H.M.Idris Suryana KW (1998:12) berpendapat: [3]

"Selama ini pendidikan kita lebih banyak menggunakan literatur barat yang steril dan terlepas dari nilai-nilai, penanaman keimanan dan keislaman. Oleh karena itu sumber-sumber informasi perlu diseimbangkan dengan banyak menulis literatur ilmu pengetahuan berdasarkan nilai-nilai Islam, tapi hal itu bukan berarti mendikotomikan antara umum dan ilmu-ilmu agama".

Pendidikan yang hanya terbatas pada belantara kulit-kulit teori hanya akan melahirkan pendidikan yang bersifat "dogmatis" tidak "kreatif". Sebaliknya pendidikan yang berwawasan nilai, secara metodologis tidak hanya merupakan transformasi dan proses intruksional melainkan sampai pada proses intemalisasi dan trans-internalisasi nilai. Pendidikan berwawasan nilai akan meletakan kebenaran ilmiah adalah pada kebenaran yang bersifat hipotetika-verifikatif yang selalu mendorong para ilmuwan untuk meneruskan kebenaran yang telah diajukan oleh para ilmuwan lain.

Sedangkan kaitannya dengan nilai Ilahiyah dalam pendidikan yang berwawasan nilai tidak berhenti sampai pada apa yang di sebutkan di atas, namun sampai pada tataran "hakikat" dan "ma 'rifat dan nilai seperti itulah yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam . [4] Lebih lanjut Hj. Melly Sri Sulastri menjelaskan bahwa:

Pendidikan perlu diartikan sebagai upaya sadar mengembangkan seluruh potensi keperibadian individu manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi, guna mencapai kehidupan pribadi sebagai Nafsun Thaibun warabbun ghaffur, kehidupan keluarga yang Ahlun thaiyibun warabbun Ghafur, kehidupan masyarakat sebagai Qoryatun Thaibatun wararabbun ghafur serta kehidupan bernegara sebagai Baldatun thaibatun warabbun ghafurr. Gambaran ini akan terjadi jika acuan pendidikan adalah pendidikan al-akhlak al-karimah dengan pembinaan amar ma 'ruf nahi munkar . [5] Dari penjelasan di atas itulah maka pendidikan Islam menjadi suatu tuntutan dan kebutuhan mutlak umat manusia dan bertujuan sebagai berikut:

a. Untuk menyelamatkan anak-anak, dari ancaman dan hilang sebagai korban hawa nafsu para orang tua terhadap kebendaan, sistem materialiatis non humanistis, pemberian kebebasan yang berlebihan dan pemanjaan.

b. Untuk menyelamatkan anak-anak, di lingkungan bangsa-bangsa sedang berkembang dan lemah dari ketundukan, kepatuhan dan penyerahan diri kepada kedhaliman dan penjajahan.

Semua itu akan tercapai dengan pendidikan Islam yang menanamkan kemuliaan dan perasaan terhonnat ke dalam jiwa manusia, bahkan kesungguhan untuk mencapainya (An-Nahlawi, 1991:40). [6] Dalam hal ini akan ditemukan pemahaman yang lebih mendalam dari pendapatnya, menurutnya tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kehebatan, kemegahan, kegagahan atau mendapatkan kedudukan dan menghasilkan uang. Karena kalau pendidikan tidak diarahkan kepada mendekatkan diri kepada Allah, akan menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan (an-Nawawi.t.t.: 3). [7] Lebih lanjut mengatakan bahwa orang yang berakal sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehingga orang itu derajatnya lebih tinggi di sisi Allah dan lebih luas kebahagiaanya di akhirat. Ini menunjukan bahwa tujun pendidikan menurut tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan menjadikan dunia itu sebagai alat (Nata.1997:163). [8]

Menurut H.M. Arifin, guru besar dalam bidang pendidikan, bila dipandang dari segi filosofis, adalah penganut faham Idealisme yang konsekwen terhadap agama sebagai dasar pandangannya. (Arifin. 1997: 87). Sedangkan dalam masalah pendidikan lebih cenderung kepada faham Empirisme. Hal ini antara lain karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik.

Menurutnya seorang anak tergantung kepada orang tua dan pendidikannya. Hati seorang anak itu bersih, mumi, laksana permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun, dalam kata lain adalah fitrah (Nala.1997 :161). [9] Jika anak menerima ajaran yang baik dan kebiasan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu dibiasakan melakukan perbuatan buruk dan dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek.

Dalam hal ini dapat dilihat peran teori fitrah dalam pembentukan manusia yang paripuma, sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yaitu untuk mendidik warga negara Mu'min dan masyarakat muslim agar dapat merealisasikan ubudiah kepada Allah semata (An-Nahlawi,1991: 179). [10] Dan dengan terealisasikannya atau termanifestasikan nilai penghambaan seseorang dalam kehidupannya, maka ia akan menjadi individu yang baik dan bet-akhlakul karimah.

Dan ini tidak bisa lepas dari pada fungsi agama, terutama Islam» di mana agama sebagai directive system dan defensive system dalam kehidupan yang juga sebagai supreme morality yang memberikan landasan dan kekuatan etik spiritual masyarakat, ketika mereka berdialektika dalam proses perubahan. (Rahmat, 1994:40). [11] Maka pendidikan agama memegang peranan yang amat penting dan strategis dalam rangka mengaktualisasikan ajaran-ajaran, nilai-nilai luhur dan mensosialisasikan serta mentransformasikan nilai-nilai itu dalam dunia pendidikan, yang selanjutnya akan dimanifestasikan oleh peserta didik pada kontek dialektika kehidupan, untuk membentuk insan kamil.

Dari problematika di atas, penulis ingin mengangkat seorang figur klasik yaitu al-Ghazali. Dikenal sebagai seorang teolog, filosof, dan sufi dari aliran Sunni, terutama dalam permasalahan akhlak, baik kaitannya dengan pendidikan maupun mu'amalah dalam masyarakat secara filosofis teoritik dan aplikatif.

Sebelum diselami secara mendalam pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan akhlak penting untuk mengetahui terlebih dahulu beberapa pemikirannya. Hal ini untuk memudahkan menganalisis pemikiran tentang pendidikan akhlak.

Pertama tentang tujuan manusia. Al-Ghazali menerangkan bahwa tujuan manusia sebagai individu adalah mencapai kebahagiaan dan kebahagiaan yang paling utama harus diketemukan di kehidupan yang akan datang, sarana utama kepada tujuan itu ada dua macam amal baik lahiriah berupa ketaatan kepada aturan-aturan tingkah laku yang diwahyukan dalam kitab suci dan upaya bathiniah untuk mencapai keutamaan jiwa. Amal baik lahiriyah bermanfaat karena ketaatan di samping dibalas langsung untuk kebaikan itu sendiri, juga mendukung akan perolehan keutamaan, namun kondisi bathin lebih penting dalam pandangan Tuhan daripada amal baik lahiriyah dan lebih mendatangkan pahala keutamaan. Di samping itu berpendapat bahwa kejahatan dan kebaikan hanya dapat diketahui melalui wahyu (dan tidak melalui rasio alamiah)

Dalam masalah "keutamaan", al-Ghazali menyamakan dengan ketaatan kepada Tuhan, dan karenanya pengkajian tentang keutamaan Islami secara mendasar merupakan deskripsi tentang cara yang tepat untuk melaksanakan perintah-perintah Tuhan, al-Ghazali selanjutnya membagi perintah-perintah ini kepada dua bagian, yaitu yang berkaitan dengan Tuhan (hablum min Allah). Dan hubungan manusia kepada sesamanya (hablum min an-Nas). Kelompok pertama disebut perbuatan-perbuatan penyembahan (ibadat), seperti shalat, bersuci, zakat, puasa dan haji. Pembagian ini dapat dilihat dalam Ihya ulum ad-Din jilid pertama. Adapun kelompok kedua adalah adat (adah) semacam makanan, perkawinan, transaksi yang diperbolehkan dan dilarang dan adab musyafir (bepergian). Ini dapat dilihat dalah Ihya ulum ad-Din jilid kedua. Sedangkan puncak daripada keutamaan dan kebahagian tertinggi adalah melihat Tuhan atau berdekatan dengan-Nya, interprestasi ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar terpelajar (ulama) bukan ahli hukum, teolog maupun filosof, melainkan hanya ahli tasawuf (mistik).

Al-Ghazali membahas keutamaan mi dalam rub 'u IV dari Ihya ulum ad-Din, yang dapat dilihat dalam Ihya ulum ad-Din jilid ketiga dan empat juga dapat pula dilihat dalam kitab al-Arba' in Fi Ushul Al-Din yang merupakan sebuah penyingkapan dari Ihya Ulum ad-Din (Abdullah. 2002:145). [12] Sedangkan pembahasan al-Ghazali tentang akhlak dapat dilihat dalam kedua kitabnya Ihya Ulum ad-Din dan Mizan al-Amal.

Secara aplikatif dapat dilihat sebagaimana ia uraikan dalam Ihya Ulum ad-Din tentang kajian beliau mengenai amal perbuatan manusia (al-akhlaq al-insaniah). Menurut pendapat al-Ghazali, bahwasanya semua tingkah laku dan perbuatan manusia baik yang bersifat baik atau bumk adalah bersumber pada maka syaitan membawa satu bawaan atas akal dan memperkuat daya tariknya (al-Ghazali, 2000,11:589-592). [13]

Ide-ide fundamental ini memiliki peranan penting dalam kontruksi akhlak tasawuf al-Ghazali yang semata-mata bergantung pada rahmat Tuhan. Dan dari filsafat pemikiran itu dapat dimengerti kenapa beliau bersikap demikian, memang ini merupakan hasil dari tahun-tahun terakhir kehidupannya, ketika ia menjalani kehidupan mistiknya, perhatian utamanya selama periode ini adalah kesejahteraan manusia di akhirat dan itulah yang mendasari teori akhlaknya mumi bercprak religius dan mistik.

Dari permasalahan di atas dapat ditarik benang merah antara permasalahan pendidikan yang tidak beres ini, dengan pengalaman al-Ghazali dan karangan-karangan beliau yang berkaitan dengan akhlak, yaitu kosongnya pendidikan dari nilai-nilai akhlakul karimah, suri tauladan dari guru. Yang berdampak pada murid-muiridnya dalam mencapai tujuan pendidikan, hingga bisa dikatakan pendidikan "telah gagal" dalam membentuk peserta didik yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik (Azra, 2002: 178). [14]

Dari fenomena tersebut penulis bercita-cita untuk memunculkan suatu gagasan baru yang dapat mereduksi ajaran akhlak tasawuf sang imam ini dalam pendidikan Islam, paling tidak untuk penulis sendiri

B. Perumusan Masalah

Berdasar pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: Bagaimana pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan akhlak?

C. Tujuan Dan manfaat Penelitian

1.Tujuan

Dalam setiap penelitian mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Adapun dalam penelitan ini tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui bagaimana konsep Pendidikan Akhlak Menurut Imam al-Ghazali.

2. Manfaat

a.Teoritis

1). Bertujuan untuk memperluas cakrawala dan mendalami bidang yang menjadi spesilaisnya yaitu konsep al-Ghazali dalam pendidikan akhlak.

2). Bagi pendidikan Islam, penelitian ini menjadi salah satu sumbangan pemikiran bagi perbaikan pendidikan Islam di masa yang akan datang sebagai perwujudan salah satu Tri Darma perguruan tingi yang berhubungan dengan penelitian.

b. Praktis

1). Menjadikan suatu ilmu yang sekaligus menjadi pijakan dalam kehidupan di dunia dan bimbingan menuju Ilahi Rabbi.

2). Menumbuhkan keimanan dan ketaqwaan yang lebih mendalam dan berusaha meninggalkan taqlid .

Kajian Pustaka

Disertasi M. Amin Abdullah (2002) The Idea of Universalitiy of Etichal Norms in Ghazali and Kant. Diterbitkan di Turki 1992, Edisi Indonesia diterbitkan oleh Mizan, 2002. dengan judul "Antara Al-Ghzali Dan Kant Filsafat Islam". Dia menyimpulkan bahwa sumber etika menurut al-Ghazali adalah tindakan secara eksklusif bersumber dari Tuhan, bukan saja nilai-nilainya, namun melainkan juga kehendak dan kemampuan untuk bertindak etis itu sendiri, sedang Kant yang menggunakan pendekatan rasionalitas ia menekankan kepada kausalitas (hukum sebab akibat), sifat aktif pelaku dalam suatu tindakan, apresiasinya terhadap perubahan sosial sebagai salah satu faktor yang harus dikembangkan dalam etika dan pada kepercayaannya bahwa betapa-pun juga rasio masih berperan kalau tidak dalam perumusan etika dalam pemikiran-pemikiran non metafisis.

Andre Dermawan (1998), Filsafat Pengetahuan Islam, Studi Atas Pemikiran Ma 'rifat al-Ghazali. Dalam tesis ini, menurut al-Ghazali ma'rifat ialah suatu ilmu yang menerima pengetahuan tanpa keraguan, dan di sini faktor kemurnian dan kehakikian pengetahuan itu dibuktikan, dasar ma'rifat al-Ghazali adalah musyahadah dengan Allah secara langsung, hal itu sama dengan para sufi yang lain pada umumnya. Menurut beliau ketentraman hati itu hanya akan diperoleh dengan penyucian jiwa. Sedang peranan ma'rifat dalam kehidupan seseorang adalah sejauh mana seseorang itu melakukan dan menjalani paket-paket tasawuf yang telah tentukan. Di sini al-Ghazali mengharuskan adanya syaikh.

Penelitian Nailul Umam Wibowo (2003) berjudul Pendidikan Tasawuf; studi Komparatif Pemikiran al-Ghazali dan Nasr. Dalam penelitian ini ia menjelaskan bahwa pendidikan tasawuf meliputi: pendidikan akidah, syariat dan akhlak. Semua itu harus dilandasi ilmu. Dalam hal pengetahuan, al-Ghazali mengunggulkan ilmu agama atas ilmu umum. Sedangkan Nasr tidak menyinggung bahkan menganggap sumber ilmu adalah satu dan yang terlahir darinya juga satu (monotomi). Inti pendidikan akidah adalah pemahaman Allah, nama dan af'al-nya, dan sifat yang ditetapkan ulama. Sedangkan pendidikan syariat merupakan buah dari akidah. Dalam syariat memiliki makna batin. Untuk mencapai makna batin seseorang harus menjalankan syariat dan menghayati makna di balik itu.

Pendidikan akhlak di peroleh dengan meneladani sifat Rasulullah karena beliau adalah uswah al-hasanah. Perbaikan akhlak melalui beberapa tahap yaitu takhalli (pengosongan diri dari sifat tercela), tahalli (pengisian diri dengan akhlak mulia dan ketaatan), dan tajalli (penampakan buah prilaku mulia). Dalam hal ini di perlukan seorang guru atau mursyid untuk membimbing murid dalam menapak jalan spirituaL Namun pendidikan tasawuf yang dikemukakan mencakup tasawuf secara umum. Sementara masalah akhlak tidak di bahas seecara komprehensif.

Dari uraian kedua penelitian diatas ada penelitian yang hampir sama dengan penelitian yang akan penulis angkat akan tetapi terdapat perbedaan yang cukup mendasar disini yaitu di mana penelitian pertama pada tataran filosofis idea sedangkan yang kedua-pun hanya sebatas tasawufhya saja, sedang yang akan penults angkat lebih ditekankan pada tataran akhlak sufistis-aplikatif. Di sinilah perbedaannya sehingga peneliti mencoba untuk mengangkat serta meneliti tentang pendidikan akhlak menurut al-Ghazali.

D. Metode Penelitian

Adapun metode yang diterapkan meliputi hal-hal sebagai berikut:

1.Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research), karena data yang diteliti berupa naskah-naskah, buku-buku atau majalah-majalah yang bersumber dari khazanah kepustakaan (Nazir, 1985:54). Penelitian mi digunakan untuk meneliti tentang faliditas menurut sejarah yang ada, serta mengetahui riwayat hidup al-Ghazali , karya-karya dan pemikirannya.

2. Pendekatan

Adapun pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan histories-filosofis. Di sini peneliti juga melakukan interpretasi. (Sartono, 1993 :77) artinya peneliti, menyelami keseluruhan pemikiran secara mendalam, cara untuk memperoleli penjelasan pemikiran al-Ghazali yang otentik tentang pendidikan akhlak.

3. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi (Arikunto, 1991: 131), yaitu mencari data-data pemikiran al-Ghazali khususnya dalam bidang akhlak dengan menggunakan data primer dan data sekunder.

- Data Primer

Yang menjadi data primer dalam penelitian ini adalah buku karya al-Ghazali yang berjudul Ihya ulum-ad-Din cetakan Dar at-Taqwa Qairo, Mesir terbitan tahun 2000, dan kitab Mizan al-amal diterjemahkan H.Bahruddin "Di puncak Keimanan, Jejak Pendakian Amal Sesuai Timbangan" diterbitkan oleh Cendikia, Jakarta pada tahun 2003 serta al-Munqidz min ad-dhalal. Cetakan al-Maktabah al-Sa 'baniyah Libanon, Bairut tanpa tahun.

- Data sekunder

Data sekunder berupa dokumen-dokumen dan buku-buku yang mengulas tentang karya al-Ghazali, riwayat hidup dan tasawuf al-Ghazali seperti al-Haqiqoh fi an-Nadhar al-Ghazali karya Dr. Sulaiman Dunya, atau karangan al-Ghazali sendiri seperti al-Munqid min ad-Dhalal diterjemahkan oleh Masyur Abadi, "Setitik Cahaya dalam Kegelapan" diterbitkan oleh Pustaka Progressif, Surabaya, tahun 2001. Kitab Majmu' ah Rasaail al-Imam al-Ghazali diterjemahkan oleh Kamran As'ad Irsyady "Samudra Pemikiran al-Ghazali", diterbitkan oleh Pustaka Sufi, Yogyakarta, tahun 2002.

Mi'rajus-Salikiin dan al-Qisthaas al-Mustaqiim diterjemahkan oleh Drs. Wasmukan, "Tangga Ma'rifatullah, Mi'raj as-Salikiin", diterbitkan oleh Risalah Gusti, Surabaya, tahun 2000, Bidayah al-Hidayah diterjemahkan oleh Kamran As'ad Irsyady "al-Ghazali menggapai Hidayah", diterbitkan oleh Pustaka Sufi, Yogyakarta, tahun 2003. Dan buku-buku lain.

4. Analisi Data

Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan metode deskriptif analitik. (Sumargono,1983:14), yaitu mengambarkan pemikiran al-Ghazali secara sistematis, sehubungan dengan latar belakang kehidupan dan pemikirannya, pendapat para ahli yang relevan juga digunakan. Tahap berikutnya adalah interpretasi (Sartono, 1992: 77), yaitu memahami seluruh pemikiran al-Ghazali untuk memperoleh kejelasan mengenai pendidikan akhlak. Dalam penelitian ini digunakan cara berpikir deduktif (Hadi, 1989:36-37). Untuk menarik kesimpulan dan digunakan pula studi komparatif untuk membandingkan pemikiran al-Ghazali dengan pemikiran tokoh lain.

BAB II

KAJIAN TEORI

  1. Pendidikan
  2. Akhlak

BAB III

RIWAYAT HDIUP IMAM AL-GHAZALY

BAB IV

PEMBAHASAN

Dengan mengetahui latar belakang sosial-kultural dan keagamaan akan lebih mudah melacak keterkaitan latar belakang dengan sikap dan pemikirannya. Selanjutnya analisis di fokuskan pada akhlak, pembagaian akhlak dan metode pendidikan akhlak.

A. Keterkaitan latar belakang sosio-kuttural keagamaan dengan pemikiran.

Al-Ghazali hidup pada abad ke-5 Hijriyah atau abada ke-10 Masehi, ini berarti beliau hidup pada masa Daulah Abbasiyah, bentangan masa yang menurut Montgomery Watt disebut masa kemunduran Abbasiyah (Maryam, 2003: 130). [15] Lemahnya kekhahfahan, serangan dari ancaman teror kelompok Bathiniyah (sekte Syi'ah ekstrim) ini menimbulkan perang saudara dalam negeri, hingga al-Ghazali mengarang buku Fadhaih al-Bathiniyah wa Fadhail al-Mustazhiriyah (tercelanya aliran batiniyah dan terpujinya Mustazhiri) (Munawir. 1985: 363). [16] Selain itu ada faktor serangan serangan dari dinasti Syi'ah Buwaihiyah dan Fatimiyyah. Kaum Syiah Qaramitah berhasil mengacau keamanan kota Baghadad dan Makkah serta membawa lari Hajar Aswad. [17] (Lapidus, 2000:263-267).

Pada masa al-Ghazali, dunia Islam telah menjadi sasaran bagi berbagai pengaruh budaya, yaitu kebudayaan Yunani pra-Islam dengan model pemikiran mistik Kristiani, Neo-Platonisme muncul pada abad ke-3 M dan berpengaruh besar terhadap pemikiran Islam. Demikian juga dalam bidang sufisme, pengaruh filsafat Persia dan filsafat India. Pengaruh terbesar adalah pada kepercayaan-kepercayaan Syi'ah ekstrim menyangkut hak ketuhanan untuk memerintah dan hulul-nya Tuhan kedalam tubuh Imam (Richard, dalam al-Ghazali. 2001: 44). [18]

Semasa hidup al-Ghazali ada beberapa kelompok yang mengaku sebagai pemilik kebenaran. Mereka adalah; pertama, filosuf, yang menggali ilmu pengetahuan yang notabene berdasarkan rasional. Kedua kaum fuqoha, yang menekankan hukum lahiriah. Ketiga, golongan sufisme, yang tumbuh berdasarkan ketidak setujuan akan kehidupan para penguasa yang sangat duniawi, juga sebagai anti formalitas agama yang di dengungkan oleh kelompok fuqoha. Pertentangan al-Hallaj dan kaum fuqoha adalah bukti dari kuatnya kesenjangan foqoha dan sufi. Dan keempat, mutakallimun yang membahas ketuhanan dengan pendekatan rasional dan filsafat.

Dari latar belakang ini nampak bahwa al-Ghazali adalah seorang ilmuwan dengan wawasan luas. Ratusan karangannya menunjukkan kecendekiaannya. Namun akhimya, al-Ghazali memilih sufi sebagai jala untuk mencapai kebenaran hakiki. Dengan sufisme pula ia memakai sebagai pisau analisis dalam membedah berbagai permasalahan yang ada. Al-Ghazali dipandang sebagai figur yang pemersatu kaum sufi dan fuqoha. Hal ini terlihat secara jelas dalam karya besarnya Ihya' Ulum al-Diin yang menujukkan bahwa tasawuf bukanlah pemisahan antara syariat dan hakekat. Tasawuf al-Ghazali, menurut Osman Bakar (1997; 195) adalah keseimbangan anatara dimensi eksoteris dan esoteris. Demikian pula kritikan al-Ghazali terhadap filsafat yang melampaui kewenangannya (Leaman, 2002 ;27). [19] Karyanya Tuhaful al-Falasifah dan Maqosid al-Falasifah memuat tentang keberatan al-Gazali pada filosof. Hal ini dilakukan dalam^erangka menjaga akidah umat agar tidak tercampuri apa yang di anggapnya pemikiran asing seperti pemikiran Yunani yang "berbau kafir".

B. Tentang akhlak.

Al-Ghazali memberikan kriteria terhadap akhlak. Yaitu, bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan penelitian teriebih dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut, maka suatu amal itu memiliki korespondensi dengan faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu: perbuatan baik dan keji, mampu menghadapi keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang ia cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa cendrung kepada kekejian (al-Ghazali, jilid 2, 2000:599). [20]

Akhlak bukan merupakan "perbuatan", bukan "kekuatan", bukan "ma'rifah" (mengetahui dengan mendalam). Yang lebih sepadan dengan akhlak itu adalah "hal" keadaan atau kondisi: di mana jiwa mempunyai potensi yang bisa memunculkan dari padanya manahan atau memberi. Jadi akhlak itu adalah ibarat dari " keadaan jiwa dan bentuknya yang bathiniah" (al-Ghazali, jilid 2, 2000:599).

Di satu sisi, pendapat al-Ghazali ini mirip dengan apa yang di kemukakan oleh Ibnu Maskawaih (320-421H/932-1030 M) dalam Tahdzib al akhluk. Tokoh filsafat etika yang hidup lebih dahulu ini menyatakan bahwa akhlak adalah "keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu." la tidak bersifat rasional, atau dorongan nafsu. (Maskawaih, 1985 :56). [21]

C. Pembagian akhlak

Dalam pembagian itu al-Ghazali ( II, 2000: 600) mempunyai 4 kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu kriteria akhlak yang baik dan buruk, yaitu: Kekuatan 'Ilmu, atau hikmah, kekuatan marah, yang terkontrol oleh akal akan menimbulkan sifat syaja'ah, kekuatan nafsu syahwat, dan kekuatan keseimbangan (keadilan), (al-Ghazali, jilid 2, 2000: 600). Keempat komponen im merupakan syarat pokok untuk mencapai derajat akhlak yang baik secara mutlak. Semua ini dimiliki secara sempuma oleh Rasulullah. Maka tiap-tiap orang yang dekat dengan empat sifat tersebut, maka ia dekat dengan Rasulullah, berarti ia dekat juga dengan Allah. Keteladanan ini karena Rasulullah 'tiada diulus kecuali uniuk menyempurnakan akhlak' (Ahmad, Hakim dan Baihaqi)

Dengan meletakkan ilmu sebagai kriteria awal tentang baik dan buruknya akhlak, al-Ghazali mengkaitkan antara akhlak dan pengetahuan, sebagaimana dilakukan oleh al-Farabi dan Ibnu Maskawaih (Najati, 2002;235). Hal ini terbukti dengan pembahasan awal dalam Ihya' adalah bab tentang keutamaan ilmu dan mengamalkannya. Sekalipun demikain ia akhlak tak ditentukan sepenuhnya oleh ilmu, juga oleh faktor lainnya.

Kriteria yang dipakai al-Ghazali juga telah diperkenalkan oelh Ibnu Maskawaih. Bagian akhlak menurut Ibnu Maskawaih (1985:46-49) adalah; kearifan (yang bersumber dari ilmu), kesederhanaan, berani dan kedermawanan serta keadilan. Semua unsur ini bersifat seimbang (balance/wasath). Dalam perspektif filsafat etika mulai dari Yunani masa Aristoteles hingga modem, keadilan beserta factor lainnya yang menjadi kriteria ini juga dipakai filosof Kohlberg, John Dewey dan Emile Durkheim. Kohlberg (1995:32-35) menyatakan bahwa keadilan ini akan menjadi norma dasar moralitas masyarakat modern yang beradab.

Sementara untuk pembagian akhlak baik dan buruk, al-Ghazali tak berbeda dengan banyak tokoh lainnya. la membagi akhlak menjadi yang baik atau mahmudah dan madzmumah atau buruk (Nata, 1997:103). [22] Dalam Ihya' al-Ghazali (2002; 2) membagi menjadi empat bagian yaitu ibadah, adab, akhlak yang menghancurkan (muhlikat) dan akhlak yang menyelamatkan (munjiyal). Akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta riya'. Sedangkan akhlak yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati. [23]

Bila ditinjau pembagian yang merusak dan dan menyelamatkan adalah al-Ghazali meletakkan akhlak dalam perspektif tasawuf yang lebih mendalam. Akhlak ini dalam tasawuf disebut hal atau kondisi batiniah. Akhlak lahiriah seperti dermawan pada fakir miskin tak ada gunanya bila tanpa diringi akhlak batiniah seperti keihklasan.

D. Metode pendidikan akhlak

Menurut al-Ghazali (2003; 72-73)., ada dua cara dalam mendidik akhlak, yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan di ulang-ulang. Selain itu juga ditempuh dengan jalan pertama, memohon karunia Illahi dan sempumanya fitrah (kejadian), agar nafsu-syahwat dan amarah itu dijadikan lurus, patuh kepada akal dan agama. Lalu jadilah orang itu berilmu (a'lim) tanpa belajar, terdidik tanpa pendidikan, ilmu ini disebut juga dengan ladunniah.

Kedua, akhlak tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riyadhah, yaitu dengan membawa diri kepada perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh akhlak tersebut. Singkatnya, akhlak berubah dengan pendidikan latihan. (al-Ghazali, 2000;601-602). [24]

E. Pendidikan akhlak menurut al-Ghazali.

Dua sistem pendidikan akhlak menurut pendapat-pendapat al-Ghazali adalah: pendidikan non fonnal dan non formal. "Pendidikan ini berawal dari non formal dalam lingkup keluarga, mulai pemeliharaan dan makanan yang dikonsumsi. Selanjutnya Bila anak telah mulai nampak daya hayalnya untuk membeda-bedakan sesuatu (tamyiz), maka perlu diarahkan kepada hal positif. Al-Ghazali juga menganjurkan metode cerita (hikayaf), dan keteladanan (uswah al hasanah). Anak juga perlu dibiasakan melakukan sesuatu yang baik. Disamping itu pergaulan anakpun perlu diperhatikan, karena pergaulan dan lingkungan itu memiliki andil sangat besar dalam pembentukan keperibadian anak-anak.

Bila sudah mencapai usia sekolah, maka kewajiban orang tua adalah menyekolahkan kesekolah yang baik, dimana ia diajarkan al-Quran, Hadits dan hal hal yang bennanfaat. Anak perlu dijaga agar tidak terperosok kepada yang jelek, dengan pujian dan ganjaran (reward). Jika anak itu melakukan kesalahan, jangan dibukakan di depan umum. Bila terulang lagi, diberi ancaman dan sanksi yang lebih berat dari yang semestinya. Anak juga punya hak istirahat dan bermain, tetapi pennainan adalah yang mendidik, selain sebagai hiburan anak. (al-Ghazali, 2000;624-627). [25]

Pendapat al-Ghazali ini senada dengan pendapat Muhammad Qutb dalam dalam System Pendidikan Islam (1993). Metode ini meliputi keteladanan, nasehat, hukuman, cerita, dan pembiasaan. Bakat anak juga perlu digali dan disalurkan dengan berbagai kegaitan agar waktu waktu kosong menjadi bermanfaat bagi anak. Hal ini adalah pelaksanaan hadist Nabi agar anak dididik memanah, berenang dan menunggang kuda. Sementara pengaruh lingkungan menurut Ustman Najati (2002;35) berpengaruh besar pada anak, sebagaimana sabda Rasulullah; "laki-laki itu tergantung temannya, maka hendaklah kalian melihat kepada siapa ia berteman. " (HR Abu Daud dan Tirmidzi)

Perhatian al-Ghazali terhadap faktor makanan baik orang tua atau anak merupakan hal menarik. Ini menurutnya akan menjadi gen baik dan buruk bagi perkembangan generasi. Demikain pula pendidikan di rumah serta pergaulan. Dalam konteks ini al-Ghazali setuju dengan aliran konvergensi yang menyatakan pandidikan di tentukan oleh titik temu faktor keturunan dan lingkungan (Purwanto, 1990; 14-17). [26] Sementara metode pembiasaan dalam psikologi modern dikenal dengan kondisioning ala Ivan Petrovic Pavlov dan Watson. Dua psikolog yang meneliti pada kebiasaan anjing ini menyatakan semua mahluk hidup berdasarkan kebiasaan. Bila terbiasa baik maka ia akan baik atau demikian juga sebaliknya. Pembiasaan akan menimbulkan sifat refleks yang tanpa pemikiran. (Purwanto, 1990;90, Suiyabrata. 1993:284-287). Dengan demikian gerak refleks ala Pavlov sama dengan haal (kondisi) yang di ungkapkan al-Ghazali.

Sementara untuk pendidikan formal, al-Ghazali mensyaratkan adanya seorang guru atau mursyid yang mempunyai kewajiban antara lain: mencontoh Rasulullah tidak meminta imbalan, bertanggung jawab atas keilmuannya, Hendaklah ia membatasi pelajaran menurut pemahaman mereka. Hendaklah seorang guru ilmu praktis (syar'i) mengamalkan ilmu, yang amal itu dilihat oleh mata dan ilmu dilihat oleh hati, tapi orang yang melihat dengan mata kepala itu lebih banyakdari mereka yang melihat dengan mata hati.(al-Ghazali, 2003; 153-160). [27]

Adapun kewajiban murid adalah: memperioritaskan kebersihan hati, tidak sombong karena ilmunya dan tidak menentang guru, dalam belajar seorang murid janganlah menerjunkan dalam suatu ilmu secara sekaligus, tetapi berdasarkan perioritas. Semua ini diniatkan untuk bertaqarub kepada Allah. Bukan untuk memperoleh kepemimpinan, harta dan pangkat. (al-Ghazali.2000; 101-110). [28] Dengan peraturan pengajar dan pelajar, al-Ghazali membuat suatu sistem yang membentuk satu komunitas pendidikan. Dimana hubungan antara seorang guru dan murid sangat sarat dengan peraturan yang satu dan yang lainnya.

Kewajiban guru dan murid, serta pembagian ilmu yang dilakukan al-Ghazali menurut para tokoh merupakan bukti dari pengetahuan dan pengalamannya sebagi seorang pendidik sewaktu di Nizamiyah Baghdad.

Pengalaman sewaktu berstatus siswa dalam mencari ilmu dan guru yang mengajar di ungkapkan secara detail melebihi pembahasan pakar lainnya.

Namun di satu sisi, pembagian al-Ghazali terhadap ilinu menjadi yang fardhu 'ain dipelajari dan fardhu kifayah, ilmu agama dan ilmu umum mendapatkan kritikan tajam. Menurut Fazlurrahman (dalam Bakar, 1997:247) [29] pembagian ilmu menjadi religius dan intelektual "merupakan pembedaan paling malang yang pernah di buat dalam sejarah intelektual Islam". Memang sarjana tidak menolak ilmu intelektual tetapi kemunduran Islam, salah satu sebabnya adalah "pengabaian ilmu intelektual". Mahdi Ghulsyani (1995:44-45) juga menolak pembagian ilmu al-Ghazali. Karena "klasifikasi ini bisa menyebabkan miskonsepsi bahwa ilmu non agama terpisah dari Islam, dan ini tidak sesuai dengan prinsip universalitas Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam". Demikian juga, Amin Abdullah (2002;31) mengkritik pendapat al-Ghazali tentang kewajiban adanya mursyid (pembimbing moral) bagi seorang yang ingin menempuh pendidikan akhlak dalam kaitannya dengan tasawuf. Pemikiran rasional modem cenderung menolak posisi murid yang menurut al-Ghazali "seperti mayat di tangan orang yang memandikan" atau "ilmu lanpa guru, maka gurunya adalah Syetan ".

F. Pendidikan akhlak al-Ghazali presfektif filsafat Pendidikan

Dalam konteks pemikiran filsafat pendidikan al-Ghazali menganut filsafat teosentris, yang di dalamnya memuat asas teologis, di mana konsep antroposentris merupakan bagian esensial dari konsep teosentris. Sedang ditinjau dari segi zaman al-Ghazali termasuk kelompok Tradisonal yaitu Perenialism—Essentilaism. Hal itu dilihat dari dasar filsafat pemikirannya yaitu al-Quran dan al-sunnah dan atsar para sahabat Nabi, dikatakan essensialis karena pendidikan al-Ghazali adala pendidikan nilai-nilai yang tinggi atau budi pekerti yang luhur hanya saja lebih bersifat sufistik atu antroposentris.

Dalam epistimologi pengetahuan sama dengan teorinya John locke yaitu Progresivisme dalam teori pendidikaan yang terkenal dengan kertas putih "tabularasa" kemudian dalam klasifikasi pengembangan filsafat pendidikan Islam konsep al-Ghazali cenderung lebih dekat kepada Tipologi Tekstual salafi.

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Akhlak menurut Al-Ghazali adalah sesuatu yang menetap dalam jiwa dan muncul dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Akhlak bukanlah perbuatan, kekuatan, dan ma'rifah. Akhlak adalah "haal" atau kondisi jiwa dan bentuknya bathiniah

Kriteria akhlak yaitu: kekuatan ilmu, marah yang terkontrol oleh akal, kekuatan nafsu syahwat, dan kekuatan keadilan. Dengan meletakkan ilmu sebagai kriteria awal, Al-Ghazali mengkaitkan antara akhlak dan pengetahuan. Hal ini merupakan pengembangan ide Ibnu Maskawaih di era klasik, dan sesuai dengan pendapat kalangan Barat modem seperti Kohlberg, John Dewey dan Emile Durkheim.

Al-Ghazali membagi akhlak menjadi mahmudah-munjiyat (baik dan menyelamatkan) dan madzmumah-muhlikat (buruk dan menghancurkan). Akhlak yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati. Sedangkan akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta riya'.

Metode pendidikan akhlak menurut al-Ghazali ada dua yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan diulang-ulang dan memohon kaninia Ilahi.

Pendidikan akhlak menurut al-Ghazali adalah: pendidikan non formal dan non formal. Pendidikan non formal dalam keluarga. Al-Ghazali menganjurkan metode cerita (hikayat), dan keteladanan (uswah al hasanah). Anak dibiasakan melakukan kebaikan. Pergaulan anak perlu diperhatikan,.

Orang tua wajib menyekolahkan anak ke lembaga pendidikan formal. Diperlukan pujian dan hukuman (reward and punishment). Anak punya hak istirahat dan bermain. Al-Ghazali mensyaratkan adanya seorang guru atau mursyid yang ikhlas, bertanggung jawab, mengamalkan ilmunya. Kewajiban murid adalah: menjaga kebersihan hati, tidak sombong dan tidak menentang guru, dalam belajar diniatkan untuk bertaqarrub kepada Allah.

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin.2002. Antara Ghazali dan Kant, (terj.). Bandung: Mizan.

Al-Ghazali, 2000. Ihya Ulumuddin, Qairo, Mesir: Daar al-Taqwa.

_________, tth. Al-Munkid min al-Dhalal. Libanon. Beirut: Maktabah as-Sa'baniyah.

_________, 2003. Bidayah al-Hidayah (terj.). Yogyakarta: Pustaka Sufi.

Al-Naquib, Al-Alatas, 1990. Konsep Pendidikan Dalam Islam. Bandung: Mizan.

Arifin H.M. 1991. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Arikunto, Suharsini, 1998. Prosedur penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Darojat, Zakiyah. 1995. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: Ruhama.

Ensiklopedi Islam. 1993. Jakarta: Ictiar Baru Van Hove.

Lannggulung. Hasan. 1988. Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21. Jakarta: Pustaka Husna.

Muhaimin. 2003. Wacana pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



[1] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[2] Mimbar Pendidikan, 1998, hlm.24

[3] H.M.Idris Suryana KW (1998:12)

[4] Ismail dan Mukti, 2000:26-27

[5] Mimbar Pendidikan, 2001:5 8

[6] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[7] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[8] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[9] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[10] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[11] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[12] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[13] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[14] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[15] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[16] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[17] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[18] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[19] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[20] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[21] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[22] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[23] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[24] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[25] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[26] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[27] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[28] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189

[29] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos,1999), hal.189